
PWGI.ORG – Surakarta, Di tengah hiruk-pikuk kota Surakarta, tersembunyi sebuah tempat yang lebih dari sekadar ruang ibadah. Namanya, Sanggar Pamujan Samirukun GKJ Mojosongo, sebuah tempat yang penuh dengan makna dan simbol-simbol, baik dalam desain arsitekturalnya maupun dalam penghayatan spiritualnya.
Seperti halnya tradisi Jawa yang sering menghadirkan simbol-simbol dalam setiap aktivitas, begitu pula dengan tempat ibadah ini. Bangunan melambangkan eratnya persekutuan umat, serta mendalami pembelajaran iman yang tak hanya berbentuk fisik, tetapi juga spiritualnya.
Sanggar Pamujan Samirukun mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan pengosongan diri saat berhadapan dengan Sang Khalik. Ini merupakan simbol perjalanan hidup jemaat menuju kesempurnaan Manunggaling Kawula lan Gusti, penyatuan umat dengan Tuhan, dalam kehidupan yang berakar, bertumbuh, berkembang, berbuah, dan berdampak positif dalam Kristus.
Sejak peletakan batu pertama pada tanggal 26 April 2015, pembangunan Sanggar Pamujan Samirukun diwarnai dengan dinamika dan tantangan. Konflik kecil sempat muncul terkait masalah administratif dan hubungan relasi sosial. Peristiwa tersebut menguji keteguhan hati jemaat GKJ Mojosongo, khususnya yang berdomisili di Samirukun.
Pendeta Supranjono Eko Raharjo, S.Si., yang terlibat dalam perjalanan panjang pembangunan ini, menceritakan bahwa Sanggar Pamujan Samirukun kini telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar bangunan fisik.
“Kami membangun ruang yang bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual. Dengan konsep ruang terbuka tanpa sekat, serta desain yang mengedepankan kerendahan hati, kami berharap setiap orang yang datang dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan,” ujar Pdt. Supranjono, pendeta yang dikenal sebagai pendeta yang gemar bernyanyi dan mahir memainkan gitar.

Menurutnya perjalanan pembangunan tidaklah mulus. Salah satu tantangan yang dihadapi adanya warga yang mengajukan surat keberatan kepada Bupati Karanganyar. Meskipun begitu, melalui pendekatan rekonsiliasi dan mediasi yang baik, konflik tersebut dapat diselesaikan dengan damai. Bapak Kepala Desa (Kades) dan beberapa masyarakat setempat memberikan dukungan pada pembangunan itu. Kadespun memberikan peringatan kepada warganya yang bertindak keliru mengajukan surat keberatan. Pembangunan sudah sesuai dengan prosedur dan tidak perlu dipermasalahkan.
“Ketika kami pertama kali boyongan, kami mengundang masyarakat sekitar dan Kades. Acara gendurenan yang digelar sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan atas anugrah yang diterima, justru dikoordinasikan dan diselaraskan dengan adat serta budaya Jawa oleh masyarakat setempat, dan mereka sendiri yang menatanya” papar Pdt. Supranjono.
Pembangunan Sanggar Pamujan dimulai pada 26 April 2015, dengan peletakan batu pertama yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Kepala Desa dan masyarakat sekitar. Keikutsertaan Kepala Desa dalam acara tersebut diwujudkan dengan sumbangan 100 sak semen dari Kepala Desa. Sumbangan semen menjadi simbol kuatnya dukungan masyarakat terhadap pembangunan ini.
Sanggar Pamujan Samirukun lebih dari sekadar tempat ibadah. Tempat itu juga menjadi pusat pembelajaran, kegiatan sosial, dan tempat berkumpulnya masyarakat dengan latar belakang beragam. Dengan desain bangunan yang melambangkan kebersamaan dan kerendahan hati, sanggar ini membuktikan bahwa iman dan persekutuan sejati bisa terwujud dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya untuk jemaat, tetapi juga untuk masyarakat sekitar.
Dalam konteks nilai teologis yang mengandung makna koinonia atau persekutuan, tercipta ruang yang dinamis dan penuh arti.
“Ruang ini dibentuk tanpa bangku, menciptakan suasana yang lebih bebas dan saling terhubung antar jemaat. Dengan sengaja, desain ruang dipilih berbentuk Gentong untuk menciptakan akustik suara alami. Dirancang tanpa menggunakan sistem suara (sound system). Ini memperkuat pengalaman spiritual yang lebih murni dan intim,” lanjut Pdt. Supranjono.
Ketika memasuki gedung gereja yang menurun, jemaat diajak menundukkan diri sebagai simbol kerendahan hati dan pengakuan akan ketidakberdayaan kita sebagai debu, sebelum memulai ibadah. Lantai dasar yang sakral mengandung nilai “pengosongan diri,” yang mencerminkan teladan Yesus dalam pelayanannya. Pengosongan diri ini mencerminkan kerendahan hati dan kesiapan untuk melayani Tuhan dan sesama dengan tulus. Nama desa Samirukun sendiri menjadi inspirasi arsitektural yang njawani dan ramah. Konsep desain ini menciptakan ruang terbuka, tanpa sekat, yang mencerminkan prinsip Patunggilan kang Nyawiji, yaitu persatuan yang menyatu dengan sesama, alam, dan Tuhan.
“Stola yang dikenakan oleh jemaat yang beribadah di Sanggar Pamujan Samirukun melambangkan umat yang sinengker (dikhususkan) dan siap menyatu dalam Kristus. Stola ini bukan sekadar pakaian, melainkan simbol kesiapan jemaat menjadi pelayan yang penuh cinta dan rela berkorban. Setiap jemaat yang mengenakannya diundang untuk menjalin hubungan erat dengan Tuhan dan sesama dalam semangat pengabdian yang tulus,” pungkas Pdt. Supranjono.

Sebagai lambang penyertaan Tuhan, Sanggar Pamujan Samirukun mengajak untuk merenungkan kembali arti persekutuan yang sejati. Tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Sanggar Pamujan adalah tempat di mana iman dan kebersamaan benar-benar terwujud, mempererat hubungan antar sesama, dan memuliakan Tuhan dalam segala aspek kehidupan. (Sugeng Ph/Red)